Penyakit jantungTermasuk di dalamnya jantung
koroner, serangan jantung, dan gagal jantung, semua jenis penyakit
jantung mengancam nyawa Anda jika malas gosok gigi dan menjaga
kebersihan mulut.
Pembuluh darah tersumbatMalas menjaga kebersihan
gigi dan gusi juga bisa membuat plak berkumpul di dinding pembuluh
darah. Akibatnya, aliran darah menjadi lebih lambat atau malah berhenti
sepenuhnya.
StrokeSehubungan dengan masalah darah tersumbat,
aliran darah ke otak pun terganggu. Hal itu berdampak pada kurangnya
asupan oksigen ke otak dan memicu stroke.
Gigi berlubangKuman dan bakteri yang jarang
dibersihkan jelas membuat lubang di gigi. Bukan cuma sakit rasanya,
mengunyah makanan pun menjadi tidak sempurna jika gigi banyak yang
berlubang.
Gangguan pernapasanMalas gosok gigi rupanya
memengaruhi paru-paru. Berbagai penyakit yang berhubungan dengan masalah
pernapasan pun muncul. Misalnya asma, infeksi, kanker paru-paru, dan
lainnya.
Gusi berdarahInfeksi pada jaringan dan tulang
yang mendukung gigi bisa terjadi jika isi mulut jarang dibersihkan. Gusi
pun rentan mengalami pendarahan dan menimbulkan infeksi tersebut.
Ludwig's anginaLudwig's angina adalah infeksi
pada jaringan ikat dasar mulut yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit
tersebut cukup mematikan dan memiliki sifat mencekik.
EndocarditisEndocarditis adalah infeksi yang
serius dari salah satu dari empat katup jantung. Infeksi bisa terjadi
jika gigi dan gusi jarang dibersihkan. Sehingga terjadi inflamasi pada
pembuluh darah dan infeksi pada katup jantung tersebut.
Abses otakJarang menjaga dan membersihkan rongga
mulut dan gigi ternyata juga memicu abses otak - kumpulan nanah yang
terbungkus oleh suatu kapsul dalam jaringan otak yang disebabkan karena
infeksi bakteri atau jamur.
MediastinitisMediastinitis merupakan inflamasi
pada bagian mediastinum - rongga di antara paru-paru kanan dan kiri yang
berisi jantung, pembuluh darah besar, kerongkongan, dan organ penting
lainnya.
Osteomielitis rahangJika tidak ingin terkena
penyakit yang menginfeksi rahang ini, mulai sekarang Anda sebaiknya
rajin menjaga dan membersihkan rongga mulut dan gigi.
Selulit wajahBerikutnya, penyakit yang bisa
mengancam jika Anda malas menggosok gigi adalah selulit di wajah.
Kondisi tersebut terjadi akibat infeksi bakteri pada kulit.
PneumoniaPneumonia disebut juga dengan radang
paru-paru. Pneumonia disebabkan oleh beberapa, termasuk di antaranya
infeksi pada pembuluh darah yang terjadi jika Anda malas membersihkan
rongga mulut.
SepsisSepsis adalah respon sistem imun
berlebihan terhadap infeksi yang terjadi pada tubuh. Respon berlebihan
itulah yang menyebabkan peradangan luas pada tubuh dan pembekuan darah.
Demikian berbagai macam penyakit yang mengancam jika Anda malas gosok
gigi. Ayo mulai sekarang bersihkan rongga mulut dengan baik dan benar!
Rabu, 25 September 2013
Perawatan Orthodonti Dalam Pandangan Islam
Islam merupakan sebuah ajaran yang sangat memuliakan ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai sarana untuk merawat kehidupan dengan izin ALLAH. Ia bahkan memerintahkan kita sebagai fardhu ’ain untuk mempelajarinya secara komprehensif agar dapat mengenali diri secara fisik dan biologis sebagai media peningkatan iman dan memenuhi kebutuhan setiap individu dalam menyelamatkan, memperbaiki, dan menjaga hidupnya. Selain itu, Islam juga menetapkan fardhu kifayah dan menggalakan adanya ahli-ahli di bidang kedokteran dan memandang kedokteran sebagai sebuah ilmu yang sangat mulia. Salah seorang imam besar, Imam Syafi’i, berkata demikian, ”Aku tidak tahu suatu ilmu setelah masalah halal dan haram [fiqih] yang lebih mulia dari ilmu kedokteran.” Pun demikian adanya dengan suatu keahlian medis dalam hal merapikan gigi yang dikenal dengan istilah Orthodonti [Orthodontics] adalah nikmat ALLAH kepada umat manusia untuk mengembalikan kepada fitrah penciptaan yang paling indah yang patut disyukuri dengan menggunakannya pada tempatnya dan tidak disalahgunakan untuk memenuhi nafsu insani yang kurang bersyukur.
Sejarah Perawatan Orthodonti
Berbicara mengenai sejarah ilmu orthodonti maka akan sama tuanya dengan sejarah ilmu kedokteran gigi serta cabang-cabang ilmu kedokteran gigi yang lain seperti ilmu penambalan gigi dan ilmu pembuatan gigi tiruan. Hippocrates termasuk salah satu orang yang berpendapat mengenai kelainan pada tengkorak kepala dan wajah (kraniofasial) : “Di antara kelompok manusia terdapat orang dengan bentuk kepala yang panjang, sebagian memiliki leher yang lebar dengan tulang yang kuat. Yang lainnya memiliki langit-langit (palatum) yang dalam dengan susunan gigi yang tidak teratur, berjejal satu sama lain dan hal itu berhubungan dengan sakit kepala dan gangguan keseimbangan.” Sedangkan Celcus pada tahun 25 SM mengemukakan teori: “Gigi dapat digerakkan dengan memberikan tekanan dengan tangan.” Peralatan sederhana yang didesain untuk mengatur gigi geligi telah ditemukan oleh para arkeolog di makam-makam kuno bangsa Mesir, Yunani, dan Suku Maya di Meksiko.
Pengertian Orthodonti
Arti harafiah orthodonti sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu orthos yang berarti lurus dan dons yang berarti gigi. Istilah orthodonti sendiri digunakan pertama kali oleh Le Foulon pada tahun 1839. Ilmu orthodonti sebagai suatu ilmu pengetahuan seperti yang kita kenal dewasa ini barulah kira-kira 50 tahun yang lalu dan lambat laun berkembang terus sehingga seolah-olah menjadi bidang spesialisasi dalam kedokteran gigi. Pada zaman dahulu yaitu 60 hingga 70 tahun yang lalu ilmu orthodonti memang sudah dikenal seperti halnya dengan ilmu penambalan gigi dan pembuatan gigi tiruan, tetapi konsepnya berbeda dengan konsep ilmu orthodonti yang sekarang. Jika dulu yang dipentingkan hanyalah masalah mekanis saja, dalam arti penggunaan alat-alat untuk meratakan susunan gigi yang tidak rata, sekarang masalah biologis juga turut menjadi perhatian. Maksud dan tujuan dari perawatan orthodonti sendiri ada beberapa macam yaitu:
1. Menciptakan dan mempertahankan kondisi rongga mulut yang sehat
2. Memperbaiki cacat muka, susunan gigi geligi yang tidak rata, dan fungsi alat-alat pengunyah agar diperoleh bentuk wajah yang seimbang dan penelanan yang baik
3. Memperbaiki cacat waktu bicara, waktu bernafas, pendengaran, dan mengembalikan rasa percaya diri seseorang
4. Menghilangkan rasa sakit pada sendi rahang akibat gigitan yang tidak normal
5. Menghilangkan kebiasaan buruk, seperti; menghisap ibu jari, menggigit-gigit bibir, menonjolkan lidah, bernafas melalui mulut
Dari pemaparan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tujuan perawatan orthodonti adalah untuk memperbaiki fungsi pengunyahan yang normal. Untuk itu, upaya yang dilakukan adalah dengan merapikan susunan gigi serta mengembalikan gigi geligi pada fungsinya yang optimal. Upaya merapikan susunan gigi geligi ini nantinya tidak akan terlepas dari pelibatan gigi geligi itu sendiri, jaringan lunak mulut, tulang wajah, dan jaringan lunak wajah. Dengan demikian didapatkannya suatu keharmonisan wajah adalah salah satu implikasi yang dapat diperoleh dari perawatan orthodonti.
Macam-Macam Perawatan Orthodonti
Secara umum menurut alat yang digunakan, perawatan orthodonti dibagi menjadi dua macam yaitu orthodonti lepasan [removable appliances] dan orthodonti cekat [fixed appliances]. Alat orthodonti lepasan umumnya digunakan pada kasus-kasus yang tidak terlalu sulit dan tidak membutuhkan pencabutan gigi. Karena keterbatasannya, biasanya alat orthodonti lepasan yang terbuat dari bahan akrilik ini, jarang digunakan oleh pasien-pasien dewasa.
Berbeda dengan alat orthodonti lepasan, alat orthodonti cekat memiliki indikasi perawatan yang lebih luas. Alat orthodonti cekat dapat digunakan untuk segala usia, bahkan usia lanjut sekalipun bila kondisi tulang penyangga giginya masih memungkinkan. Alat ini terdiri dari seutas kawat [terbuat dari campuran logam Nikel dan Titanium yang memiliki sifat tahan karat dan sangat lentur dengan ukuran yang berbeda-beda tergantung kebutuhan], bracket [penopang kawat yang ditempelkan pada gigi, dapat terbuat dari logam, keramik, dan plastik], dan cincin karet warna-warni. Karena alat orthodonti cekat ini ditempelkan pada gigi selama perawatan, maka pasien harus dapat menjaga kebersihan mulut sebaik mungkin agar tidak menimbulkan masalah gigi dan mulut yang lainnya.
Orthodonti Menurut Islam
Dengan melihat berbagai faktor penyebab dan kebutuhan penanganan secara orthodonti, maka hal tersebut diperbolehkan dalam Islam, baik sebagai pasien maupun dokter gigi yang menanganinya, bahkan hal ini sangat dianjurkan dan dapat bernilai ibadah. Sebab, Islam menganjurkan untuk berobat bila terjadi kelainan dan ketidaknormalan pada fisik dan psikis. Bukankah Islam sangat memperhatikan kesehatan seperti telah difirmankan ALLAH dalam Al-Qur’an?
Namun, belakangan ini tampaknya timbul suatu fenomena di mana penggunaan kawat gigi sebagai suatu tren tersendiri khususnya di kalangan kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena mereka sekedar ingin bergaya dan bahkan terkadang karena ingin menunjukkan status ekonomi, meskipun sebenarnya kebanyakan dari mereka tidak perlu menggunakannya karena kondisi gigi yang normal. Untuk hal ini, pemasangan alat orthodonti cekat pada pasien yang sebetulnya tidak butuh perawatan sebetulnya merupakan perbuatan yang sia-sia, tidak perlu, termasuk mubazir. Sebab, biasanya rata-rata waktu perawatan orthodonti cukup lama tergantung tingkat keparahannya dengan biaya yang tidak sedikit. Jika perawatan orthodonti digunakan dengan tujuan yang seperti disebutkan di atas tadi, maka hal ini termasuk kepada hal yang berlebih-lebihan [israf] yang dibenci oleh ALLAH [QS. Al-Mu’minun : 64-5, QS. Al-Isra’ : 26-7]. Jadi, semuanya kembali lagi pada niat dan tujuan dari perawatan orthodonti itu sendiri. Wallahu’alam bishshawab.
Sejarah Kedokteran Gigi
Sejarah
pendidikan kedokteran gigi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak
zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya kota Surabaya adalah
tempat dimulainya pendidikan kedokteran gigi di Indonesia. Pendidikan
kedokteran gigi ini berkaitan dengan dimulainya pendidikan dokter di
Hindia Belanda.
Pada tahun 1847 dr. W Bosch, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia mendapat laporan bahwa di wilayah Banyumas berjangkit berbagai macam penyakit berbahaya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga setiap Kepala Desa (Lurah) diberi sebuah buku tuntunan kesehatan dengan bahasa Jawa dan Melayu, agar setiap desa bisa menjaga kesehatan desa serta penduduknya. Tetapi cara ini tidak membuahkan hasil. Sehingga pada 29 November 1847 Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan akan memanggil pemuda-pemuda pribumi untuk dididik menjadi juru kesehatan. Mereka yang memenuhi syarat akan dididik di Rumah Sakit Militer Weltevreden.
Zaman Hindia Belanda (1800-1942)
Pada tahun 1847 dr. W Bosch, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia mendapat laporan bahwa di wilayah Banyumas berjangkit berbagai macam penyakit berbahaya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga setiap Kepala Desa (Lurah) diberi sebuah buku tuntunan kesehatan dengan bahasa Jawa dan Melayu, agar setiap desa bisa menjaga kesehatan desa serta penduduknya. Tetapi cara ini tidak membuahkan hasil. Sehingga pada 29 November 1847 Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan akan memanggil pemuda-pemuda pribumi untuk dididik menjadi juru kesehatan. Mereka yang memenuhi syarat akan dididik di Rumah Sakit Militer Weltevreden.
Weltevreden
merupakan sebuah kawasan di wilayah Jakarta Pusat yang semula merupakan
daerah hutan dan padang rumput. Diperkirakan kawasan ini disebut Weltevreden pada saat kawasan ini menjadi hak milik Cornelis Chastelein pada 1697. Gubernur Jenderal Daendels kemudian mengubah kawasan Weltevreden menjadi sebuah ibu kota untuk koloni Eropa di Asia Tenggara.
Kawasan Weltevreden tahun 1750
Pada bulan Januari 1851 berdasarkan atas Gouvernements Besluit No. 22 tahun 1849 di Batavia (Jakarta) didirikan Sekolah Dokter Jawa ("Dokter Jawa School"). Pemuda-pemuda yang dididik secara cuma-cuma menjadi juru kesehatan berjumlah 30 orang dan pendidikannya dimulai pada 1851.
Mereka diberi gaji f.15 per bulan dan diberikan perumahan. Pimpinan dan
pelaksana sekolah ini diserahkan kepada Kepala Dinas Kesehatan dan
Opsir Kesehatan Kelas 1 dan 2 Rumah Sakit Militer. Yang ditunjuk sebagai
Pimpinan Kursus adalah Dr. P. Bleeker (1851-1860). Kursus Juru Kesehatan kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa pada 1853 dengan masa pendidikan tiga tahun. Para lulusan sekolah ini diberi gelar Dokter Jawa,
mereka dalam tugasnya berada di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Sipil
Pemerintah Hindia Belanda bergaji f.30 - f.50 per bulan.
Beberapa peristiwa penting dalam sejarah pendidikan dokter pada jaman Hindia Belanda adalah :
Dokter Jawa School
Beberapa peristiwa penting dalam sejarah pendidikan dokter pada jaman Hindia Belanda adalah :
· 1856 Dari angkatan tersebut yang lulus 11 orang dan diperbolehkan menggunakan titel "Dokter Jawa". Mereka memperbanyak jumlah juru cacar di daerah yang digunakan juga untuk membantu tugas-tugas ringan dokter militer.
· 1856 Sekolah Dokter Jawa terbuka untuk murid yang berasal dari Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara. Dr. P. Bleeker
yang belum puas pada pelaksanaan dan hasil pendidikannya mengusahakan
perbaikan kurikulum Sekolah Dokter Jawa hingga menghasilkan dokter yang
mampu menjalankan praktek umum.
· 1864 Lama Pendidikan Sekolah Dokter Jawa dijadikan 3 tahun.
Pendidikannya meliputi 27 mata pelajaran, siswa baru yang diterima
lebih banyak. Melihat lulusan Sekolah Dokter Jawa ternyata intelegen dan
berbakat baik, maka akhirnya ia berhasil mengarahkan pendidikan
dokternya menjadi lebih baik lagi.
· 1875 Lama pendidikan dokter menjadi 7 tahun dan dibagi menjadi 2 tahun bagian persiapan dan 5 tahun
bagian kedokteran. Bahasa Pengantarnya adalah Bahasa Belanda. Siswa
yang diterima sebagai eleve hanya lulusan SD pemerintah atau ujian masuk
bila tidak memiliki pendidikan pendahuluan dan berumur 14-18 tahun.
Jumlah eleve sebanyak 100 orang. Gelar setelah lulus : "Inlandsch Geneesen Heelkundige".
Sejak itu mutu lulusan Dokter Jawa lebih baik dan dipercaya menjalankan
tugas-tugas kedokteran yang lebih luas. Mereka mulai memiliki rasa
percaya diri yang besar dan masyarakat menghargainya sebagai dokter
sesungguhnya.
· 1881 Lama pendidikan dokter diperpanjang menjadi 9 tahun dengan tahap 3 tahun bagian persiapan dan 6 tahun bagian kedokteran. Siswa yang diterima sebagai eleve hanya lulusan SD pemerintah (ELS).
Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Belanda dan Bahasa Jerman mulai
diajarkan mengingat adanya buku pegangan dalam Bahasa Jerman.
· 1893 Majalah Kedokteran yang pertama diterbitkan.
Dalam jangka waktu sekitar setengah abad, pendidikan dokter di Jawa
mengalami kemajuan cukup pesat. Hal tersebut dapat terlaksana berkat :
- Para pengajarnya terdiri dari tenaga-tenaga mampu dan memenuhi persyaratan dan mereka tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai.
- Kurikulum yang semula dianggap terlampau berat, akhirnya lebih diarahkan sesuai dengan kebutuhan.
- Para siswa yang kemudian terpilih dan bertahan, ternyata sangat berbakat, rajin dan tekun belajar
School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA)
Berhasillah cita-cita Belanda mendidik "dokter-dokter kelas dua" yang tingkatannya lebih rendah dari mereka. Dr. H.F. Roll sebagai tokoh kedua yang memimpin sekolah tersebut berhasil membangun sekolah baru di dekat rumah sakit militer.
· 1902 Nama Sekolah Dokter Jawa / Dokter Jawa School menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Lama pendidikannya menjadi 8 tahun, terbagi menjadi 2 tahun bagian persiapan dan 6 tahun bagian kedokteran. Hak praktek ditambah dengan ilmu kebidanan. Penerimaan eleve baru ditingkatkan menjadi 150 orang dan terbuka bagi pemuda dari luar Jawa. Lulusan STOVIA bertitel "Inlandsch Arts" diijinkan melakukan "geneesheel en verlos-kunde / Kedokteran dan Kebidanan" dan berhak sebagai "apotheek-houndend geneesheer / Farmasis Kedokteran".
· 1913 Lama pendidikan menjadi 10 tahun, terbagi menjadi 3 tahun bagian persiapan dan 7 tahun bagian kedokteran. Mata pelajaran meliputi premedik, preklinik dan klinik. Siswa berasal dari sekolah rendah pemerintah ; lulusan MULO langsung diterima pada STOVIA tingkat III Bagian Persiapan, sedangkan lulusan HBS (Hogere Burger School) V / Sekolah Tinggi Mengengah dan AMS (Algemne Middelbare School) B / Sekolah Tinggi langsung di tingkat II Bagian Kedokteran.
Tanah belakang Sekolah Dokter Djawa (Sekolah Kedokteran) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Ruang Guru / Dosen Sekolah Dokter Djawa(Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Ruang Untuk diskusi Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
P.A. Boorsma dengan siswa di ruangan amfiteater untuk pendidikan fisika dan kimia di Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Rencana pembangunan, tampak depan dan posisi dari Sekolah Dokter Pribumi/Sekolah Dokter Djawa Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Salah satu dari empat asrama Sekolah untuk Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Gedung Pelatihan Senam Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Tanah belakang Sekolah Dokter Djawa (Sekolah Kedokteran) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Ruang Guru / Dosen Sekolah Dokter Djawa(Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Ruang Untuk diskusi Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
P.A. Boorsma dengan siswa di ruangan amfiteater untuk pendidikan fisika dan kimia di Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Direktur H.F. Roll dengan siswa di ruang kelas terbuka dari Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - 1902
Kantor Direktur Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - 1902
Siswa Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Siswa Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia - Tahun 1902
Guru dan pendidik dari Sekolah Dokter Djawa (Medical School) Hospitaalweg di Batavia. Duduk dari kiri: guru Francken N, Guru / Wakil Direktur Dr CD Ouwehand, guru / direktur H.F. Roll, guru Dr P.A. Boorsma, guru L.P.J. Vermeulen, berdiri kiri ke kanan: HM Knoch guru, guru Dr H. Reilingh, guru A.J.H. Sharp, guru Dr J. Noordhoek Hegt, G.A. kepala sekolah Tuijl Schuitemaker, AF de Wolff guru, guru Dr CN Schoorel, guru Dr J.B.C. Persenaire, Asisten Guru Dewan Soerjatin
Mahasiswa STOVIA (1920-1933)
Para akademisi STOVIA tahun 1916
1900-1928 : Dokter Djawa Ismaël dari rumah sakit zending di Modjowarno.
05-08-1927: Dokter Djawa sedang membalut pasien di poliklinik onderneming kapok Siliwok, Sawangan, Jawa Tengah. Pada tahun 1847 Dr. Willem Bosch, kepala Dinas Kesehatan Militer mengusulkan agar pemuda Jawa yang terpilih diberi pendidikan kedokteran.Pada tahun 1851 pendidikan itu dimulai di Weltevreden (sekarang daerah Gambir dan Menteng, arti weltevreden adalah menyenangkan) di Batavia dan dipimpin oleh Perwira Kesehatan Kelas 1 Dr. P. Bleeker. Angkatan pertama lulus tahun 1853 sejumlah 11 orang dan diberi titel ‘Dokter Djawa’.Seluruh angkatan pertama dikerahkan pada upaya vaksinasi cacar. Kemudian setelah dilakukan perubahan pada sistem pendidikan, mereka diberi tanggungjawab yang lebih besar. Sekolah mereka kemudian dinamakan STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi). Juru foto: tidak diketahui.
De Javaanse Arts / Dokter Djawa
Foto diambil pada tahun 1875 di Jawa Tengah, Hindia Belanda / Netherlands East Indies
1900-1928 : Dokter Djawa Ismaël dari rumah sakit zending di Modjowarno.
05-08-1927: Dokter Djawa sedang membalut pasien di poliklinik onderneming kapok Siliwok, Sawangan, Jawa Tengah. Pada tahun 1847 Dr. Willem Bosch, kepala Dinas Kesehatan Militer mengusulkan agar pemuda Jawa yang terpilih diberi pendidikan kedokteran.Pada tahun 1851 pendidikan itu dimulai di Weltevreden (sekarang daerah Gambir dan Menteng, arti weltevreden adalah menyenangkan) di Batavia dan dipimpin oleh Perwira Kesehatan Kelas 1 Dr. P. Bleeker. Angkatan pertama lulus tahun 1853 sejumlah 11 orang dan diberi titel ‘Dokter Djawa’.Seluruh angkatan pertama dikerahkan pada upaya vaksinasi cacar. Kemudian setelah dilakukan perubahan pada sistem pendidikan, mereka diberi tanggungjawab yang lebih besar. Sekolah mereka kemudian dinamakan STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi). Juru foto: tidak diketahui.
De Javaanse Arts / Dokter Djawa
Foto diambil pada tahun 1875 di Jawa Tengah, Hindia Belanda / Netherlands East Indies
Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen/STOVIG (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen/STOVIA (atau Sekolah Dokter Pribumi).
School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA)
Present Day
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)
Present Day
Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische
(Hindia) karena sekolah ini kemudian dibuka untuk siapa saja, termasuk
penduduk keturunan "Timur Asing" dan Eropa, sedangkan sebelumnya hanya
untuk penduduk pribumi. Pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja yang
lulus ujian dan masuk dengan biaya sendiri. Para lulusan Stovia kemudian diberi gelar Inlandsche-Arts. Pada 1913
Stovia melakukan penyempurnaan kurikulum. Masa pendidikan kedokteran
kemudian ditingkatkan menjadi tujuh tahun dan lulusannya diubah menjadi Indische Arts.
1929: Pakaryan Bab Kasarasaning Kawula.
Pada tahun 1911 dibentuk suatu Dinas Kesehatan Sipil tersendiri, yang sebelumnya berada di bawah Dinas Kesehatan Militer. Pada tahun 1925 Dinas itu mempunyai nama baru, yaitu Dinas Kesehatan Rakyat (DVG, yang kantornya di Jl. Kesehatan dan sekarang menjadi kantor Dinas Kesehatan DKI). Pada tahun 1916 Dinas Kesehatan Sipil, yang kemudian juga dianut oleh DVG, yaitu memulai kebijakan yang lebih menekankan pencegahan ketimbang pengobatan.
Dengan kata lain mencegah lebih baik daripada menyembuhkan. Pada tahun 1936 DVG mempekerjakan 170 dokter Eropa, 316 Dokter pribumi (lulusan Sekolah Jawa dan STOVIA) serta 17 dokter keturunan Cina. Disamping itu ada 150 perawat Eropa dan 1210 perawat pribumi yang disebut mantri, serta 120 bidan. Juga ada 30 mantri malaria, 435 mantri cacar dan 415 orang dalam dinas pemberantasan penyakit pes. Foto kendaraan penyuluhan kesehatan DVG kita-kira pada tahun 1925.
Juru foto: tidak diketahui.
Pendirian STOVIA (Sekolah Kedokteran) di Batavia - 1899-1920
1920-1933: Foto bersama di depan Gedung STOVIA.
1926: Hari ulang tahun ke 75 rumah sakit STOVIA
dalam ruangan tempat berlangsungnya presentasi dokter de Waart (ahli ilmu faal).
1925: Tiga orang pria sedang menunggu di gerbang masuk STOVIA.
1921-1933: Foto udara gedung-gedung STOVIA (di Salemba 6), CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, sekarang RSCM), Laboratorium Kedokteran (sekarang Lembaga Eijckman, dan pabrik candu (di Salemba 4), di Weltevreden. Juru foto: Luchtvaart Afdeeling (LA) foto studio.
1920-1933: Foto udara gedung-gedung STOVIA (di Salemba 6), CBZ (sekarang RSCM), Laboratorium Kedokteran (sekarang Lembaga Eijckman, dan pabrik candu (di Salemba 4), di Weltevreden. Gedung yang putih adalah pabrik candu, (gedung itu sudah dibongkar dan sekarang di tempat itu berada gedung UI Salemba 4) dengan latar belakang STOVIA, CBZ, Lembaga Eijckman. Juru foto: tidak diketahui.
1925: Foto udara Rumah Sakit Umum Pusat di Batavia. Juru foto: tidak diketahui.
1920-1933: Foto bersama di depan Gedung STOVIA.
1926: Hari ulang tahun ke 75 rumah sakit STOVIA
dalam ruangan tempat berlangsungnya presentasi dokter de Waart (ahli ilmu faal).
1925: Tiga orang pria sedang menunggu di gerbang masuk STOVIA.
1921-1933: Foto udara gedung-gedung STOVIA (di Salemba 6), CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting, sekarang RSCM), Laboratorium Kedokteran (sekarang Lembaga Eijckman, dan pabrik candu (di Salemba 4), di Weltevreden. Juru foto: Luchtvaart Afdeeling (LA) foto studio.
1920-1933: Foto udara gedung-gedung STOVIA (di Salemba 6), CBZ (sekarang RSCM), Laboratorium Kedokteran (sekarang Lembaga Eijckman, dan pabrik candu (di Salemba 4), di Weltevreden. Gedung yang putih adalah pabrik candu, (gedung itu sudah dibongkar dan sekarang di tempat itu berada gedung UI Salemba 4) dengan latar belakang STOVIA, CBZ, Lembaga Eijckman. Juru foto: tidak diketahui.
1925: Foto udara Rumah Sakit Umum Pusat di Batavia. Juru foto: tidak diketahui.
STOVIA Tahun 1926
Prasasti STOVIA
Sekitar 1939: Gedung Geneeskundige Hoogeschool,
yang semula dipakai oleh STOVIA, di Jakarta.
Sekitar 1939: Gedung Geneeskundige Hoogeschool,
yang semula dipakai oleh STOVIA, di Jakarta.
1929: Pakaryan Bab Kasarasaning Kawula.
Pada tahun 1911 dibentuk suatu Dinas Kesehatan Sipil tersendiri, yang sebelumnya berada di bawah Dinas Kesehatan Militer. Pada tahun 1925 Dinas itu mempunyai nama baru, yaitu Dinas Kesehatan Rakyat (DVG, yang kantornya di Jl. Kesehatan dan sekarang menjadi kantor Dinas Kesehatan DKI). Pada tahun 1916 Dinas Kesehatan Sipil, yang kemudian juga dianut oleh DVG, yaitu memulai kebijakan yang lebih menekankan pencegahan ketimbang pengobatan.
Dengan kata lain mencegah lebih baik daripada menyembuhkan. Pada tahun 1936 DVG mempekerjakan 170 dokter Eropa, 316 Dokter pribumi (lulusan Sekolah Jawa dan STOVIA) serta 17 dokter keturunan Cina. Disamping itu ada 150 perawat Eropa dan 1210 perawat pribumi yang disebut mantri, serta 120 bidan. Juga ada 30 mantri malaria, 435 mantri cacar dan 415 orang dalam dinas pemberantasan penyakit pes. Foto kendaraan penyuluhan kesehatan DVG kita-kira pada tahun 1925.
Juru foto: tidak diketahui.
Nama STOVIA tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927, yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (atau Sekolah Tinggi Kedokteran). Sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama, yaitu Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) di masa pendudukan Jepang dan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan Indonesia. Sejak 2 Februari 1950, Pemerintah Republik Indonesia mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Jakarta yang masih tetap berlaku hingga sekarang.
Gedung baru STOVIA, sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1960-1980: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada zaman kolonial gedung itu digunakan sebagai tempat pendidikan STOVIA.
Juru foto: tidak diketahui.
1960-1980: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada zaman kolonial gedung itu digunakan sebagai tempat pendidikan STOVIA.
Juru foto: tidak diketahui.
Surabaya - Hindia Belanda
NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) didirikan sebagai tempat pendidikan dokter di Surabaya yang dimulai pada tahun 1913, pendidikan pertama kali dilaksanakan di Surabaya yang berlangsung di Jl. Kedungdoro 38 Surabaya. Pada tahun 1923 gedung NIAS dipindah dari Jl. Kedungdoro ke tempat berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya.
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) tahun 1913 di Jl. Kedungdoro 38 Surabaya
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) tahun 1930 di Surabaya
Sekolah Dokter kedua didirikan di Surabaya berdasarkan Keputusan Pemerintah "Besluit van de Gouverneur General van Nederlansch Indie van 8 Mei 1913 No. 4211".Beberapa peristiwa penting dalam sejarah pendidikan dokter di Surabaya adalah :
1913 Diresmikan pembukaannya pada tanggal 1 Juli 1913 dengan nama Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS)
dengan tujuan menghasilkan dokter-dokter yang langsung dapat bekerja di
kalangan masyarakat desa-desa yang dapat memberikan pertolongan praktis
dengan pengetahuan cukup dan dapat dipertanggungjawabkan. Dimulainya
pendidikan dokter di Surabaya diresmikan secara "low profile" tanggal 15 September 1913 di Jalan Kedungdoro No. 38 Surabaya. Ciri khas pendidikan dokter di Surabaya (NIAS) adalah kemasyarakatannya. Kurikulum NIAS disesuaikan dengan kurikulum STOVIA, dengan masa pendidikan 10 tahun, yaitu 3 tahun bagian persiapan dan 7 tahun bagian kedokteran.
Siswa yang diterima adalah lulusan SD pemerintah, baik pemuda-pemuda
bumiputra maupun Hindia Belanda, keturunan Cina dan Arab, pria dan
wanita. Direktur pertama yang ditunjuk adalah Dr. A.E. Sitsen, seorang dokter dan tenaga pengajar yang cakap, kompeten, berdedikasi, memilih dan melengkapi korps pengajar.
1923 Tanggal 2 Juli 1923, NIAS menempati gedung baru di Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga saat ini. Sebagai rumah sakit pendidikan mula-mula digunakan Gevangenis Hospital Simpang (Stadverband), kemudian Central Burgelijke Zieken-Inrichting (CBZ). Tahun ini pula NIAS menghasilkan dokter pertama dengan titel Indische Art.
1925 Kurikulum NIAS mengalami perubahan, terutama pada bagian klinik. Sejak tahun ini, siswa yang diterima hanya lulusan MULO (setingkat SMP). Pada tahun 1928, lama pendidikan NIAS diubah menjadi 8,5 tahun dengan menghapus bagian persiapan.
1927 "Geneeskundige Hoogeschool" dibuka di Jakarta. Siswa harus berasal dari HBS V dan AMS B dengan lama pendidikan 7 tahun; lulusan GHS bertitel "Arts" yang sederajat dengan lulusan dokter di Negeri Belanda. STOVIA tidak lagi menerima calon-calon baru, sedangkan siswa yang duduk di tingkat rendah diberi kesempatan pindah ke AMS atau ke NIAS Surabaya dan yang duduk di tingkat tinggi dapat menyelesaikan studi di Jakarta, disamping HGS.
1941 Sejak NIAS berdiri sampai 1 Juli 1941 telah dihasilkan 324 Indische Artsen.
Logo NIAS selama masa pendudukan Jepang 1942 - 1945
NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) tahun 2011, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya
School Tot Opleiding Van Indische Tandarsten (STOVIT)
Sejarah berdirinya STOVIT
Sebelum
berdiri lembaga kedokteran gigi pada masa kolonial, di kota Surabaya
telah berdiri terlebih dahulu sekolah kedokteran yang bernama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) pada tahun 1913.
Foto dari udara kampus S.O.V.I.T dan N.I.A.S sekitar tahun 1930
Foto
dari udara kampus S.O.V.I.T dan N.I.A.S (sekarang Fakultas Kedokteran
Gigi dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya) sekitar
tahun 2011
Karena
lembaga kedokteran gigi belum ada maka kebutuhan akan tenaga kesehatan
gigi (dokter gigi) didatangkan langsung dari Eropa (Belanda). Namun
jumlah dokter gigi dari Eropa yang bisa dan mau bekerja di Hindia
Belanda pada waktu itu amat terbatas, itupun sebagian besar hanya untuk
melayani orang-orang Eropa yang tinggal di sini. Jika orang-orang
pribumi menderita penyakit gigi maka sebagian besar dibawa ke dukun atau
tabib dengan pengobatan tradisional, dan sebagian lagi dibiarkan untuk
sembuh dengan sendirinya. Masyarakat awam menganggap bahwa sakit gigi
bukanlah sakit gawat yang bisa menimbulkan kematian. Mereka juga
menganggap bahwa kebersihan gigi bukanlah hal penting yang harus
dilakukan sepanjang gigi masih bisa untuk mengunyah makanan dengan
baik.
Mengantisipasi hal tersebut pada bulan April 1928, Dr. Lonkhuizen, Kepala Departemen Kesehatan Masyarakat (Dienst den Volkgezonheid) pada masa itu mengusulkan kepada direktur NIAS agar mendirikan sebuah lembaga pendidikan kedokteran gigi yang bisa mendidik calon-calon dokter gigi yang berafiliasi dengan NIAS.
Diharapkan
lulusan dari lembaga ini bisa memenuhi kekurangan tenaga dokter gigi di
Hindia Belanda. Gagasan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan
kedokteran gigi akhirnya terlaksana. Pada bulan April 1928 pemerintah menunjuk Dr. Schoppe
untuk mempersiapkan pendirian lembaga tersebut sekaligus sebagai
direkturnya yang pertama. Lembaga pendidikan kedokteran gigi tersebut
diberi nama STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) yang berlokasi satu kompleks dengan NIAS di Viaduct Straat No. 47 Surabaya.
Pada bulan Juli 1928 sekolah dibuka dengan secara resmi menerima
pendaftaran siswa. Jumlah siswa yang diterima untuk didik menjadi dokter
gigi pada angkatan pertama sebanyak 21 orang. Syarat utama untuk bisa diterima di sekolah ini minimal harus lulusan dari MULO Bagian B (Pasti
Alam). Bulan September 1928 proses pendidikan secara resmi dimulai.
Kurikulum dirancang agar siswa dapat menyelesaikan pendidikannya selama lima tahun termasuk latihan klinik selama tiga tahun agar setelah lulus bisa langsung berprofesi sebagai dokter gigi.
Logo STOVIT
Setelah
tiga tahun menjabat sebagai direktur dan berhasil meletakan fondasi
yang kokoh bagi pendidikan kedokteran gigi di Hindia Belanda, khususnya
di kota Surabaya, pada tahun 1931 Dr. Schoppe secara resmi meletakan jabatannya. Kedudukannya digantikan oleh Dr. H.J.F. Van Zaben.
Suasana STOVIT sekitar tahun 1928 - 1941
Tahun 1933 STOVIT berhasil meluluskan dokter gigi yang pertama.
Warga Eropa yang tinggal di kota Surabaya memiliki minat yang tinggi
untuk memasuki sekolah gigi, tetapi lembaga tersebut memiliki
keterbatasan daya tampung yang rata-rata tiap tahun hanya 20 siswa.
Karena daya tampungnya yang terbatas maka saat Jepang mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda, STOVIT baru menghasilkan 80 dokter gigi.
Proses pendidikan di STOVIT mengalami
gangguan yang cukup serius dengan masuknya Bala Tentara Jepang ke
Indonesia karena berdampak pada keberadaan staf pengajar yang
berkebangsaan Belanda. Pengajar-pengajar berkebangsaan Belanda sebagian
besar melarikan diri, sebagian lagi dimasukan ke kamp interniran. Bahasa
Belanda sebagai pengantar di lembaga-lembaga pendidikan dilarang. STOVIT dibekukan lebih dari satu tahun.
Pada
tahun 1943 Pemerintah Pendudukan Jepang membuka kembali beberapa
lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Lembaga pendidikan yang dibuka
antara lain Ika Daigaku (Perguruan Tinggi Kedokteran) yang merupakan gabungan dari bekas STOVIA yang berkedudukan di Batavia (Jakarta) dan NIAS yang berkedudukan di Surabaya. Ika Daigaku berkedudukan di Jakarta sedangkan cabangnya ada di Surabaya yaitu di bekas NIAS. Pada tanggal 5 Mei 1943 di Surabaya dibuka Ika Daigaku Sika Senmenbu atau Sekolah Dokter Gigi.
Upacara pembukaannya dimanfaatkan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang sebagai media untuk berpropaganda. Hatakeda yang
mewakili pemerintah dengan nada mengejek Pemerintah Belanda
mengemukakan bahwa Pemerintahan Belanda dahulu selalu
menggembar-gemborkan akan memperhatikan kesehatan penduduk negeri ini,
tetapi nyatanya tidak ada hasilnya.
Bahkan
bangsa pribumi hanya mendapat hinaan dan gangguan kesehatan serta
selalu diliputi kesengsaraan. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa saat
ini Dai Nippon akan berjuang untuk memperbaiki kesalahan
Pemerintah Belanda yang telah almarhum agar dapat dicapai susunan baru
yang kuat dan teguh. Salah satu jalan untuk memperbaiki keadaan itu
adalah dengan memperbaiki masalah “ketabiban”. Sedangkan Itagaki, Kepala Ika Daigaku Jakarta dalam sambutannya mengatakan bahwa pada masa Belanda memerintah kondisi kesehatan penduduk Indonesia sangat terbelakang.
Indonesia yang berpenduduk kurang lebih lima puluh juta orang hanya memiliki kira-kira lima ratus orang dokter atau satu orang dokter untuk sepuluh ribu penduduk.
Apalagi keberadaan dokter-dokter hanya ada di kota-kota besar saja.
Dengan demikian maka penduduk di daerah-daerah terpencil sangat
dirugikan dalam hal kesehatannya.
Pemerintah
Pendudukan Jepang berjanji bahwa Sekolah Dokter Gigi yang baru
diresmikan tersebut akan dapat memenuhi kebutuhan penduduk akan tenaga
dokter gigi dalam waktu yang singkat tetapi juga sempurna.
Sebagai pimpinan dari Ika Daigaku Sika Senmenbu adalah Dr. Takeda, tetapi pada bulan Nopember 1943 diganti oleh Prof. Dr. Imagawa. Beberapa staf pengajar berkebangsaan Jepang antara lain Dr. Kosi, Dr. Mural, Dr. Kondo, Dr. Takeuti, Dr. Fusise, dan Dr. Itigawa.
Disamping itu juga terdapat beberapa staf pengajar dari masyarakat pribumi antara lain Prof.
Dr. Sjaaf, Dr. Zainal, Dr. M. Salih, Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo, Ir.
Soemono, Dr. S. Mertodidjojo, Dr. M. Soetojo, Dr. Azil Widjojokoesoemo,
Dr. R.G. Indrajana, dan Dr. R Moestopo.
Sejarah Kedokteran Gigi di Indonesia Era Kemerdekaan
Tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu yang disusul dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan proklamasi kemerdekaan maka secara politis Indonesia lepas dari
kekuasaan Jepang dan secara bebas bisa mengatur dirinya sendiri. Ika Daigaku yang berkedudukan di Jakarta dan Ika Daigaku Sika Senmenbu yang berkedudukan di Surabaya kemudian dilikuidasi.
Tindakan
ini merupakan bagian dari proses Indonesianisasi yang berlangsung dalam
sektor-sektor tertentu utamanya politik dan pendidikan. Sebagai ganti
dari kedua lembaga pendidikan kedokteran tersebut maka pemerintah
Republik Indonesia mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan
Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi yang berkedudukan di Surabaya
merupakan bagian dari Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Sebagai pimpinan dari perguruan tinggi adalah Prof. Dr. Sjaaf.
Ketika
proses pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengaha berlangsung
gelombang perang kemerdekaan muncul yang didahului dengan masuknya
pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin mengamankan tawanan
Jepang, pada bulan September sampai Oktober 1945 pasukan Sekutu
memasuki kota-kota besar di Indonesia.
Di
Jakarta pendaratan pasukan Sekutu disambut dengan kontak senjata oleh
rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu menciptakan kegaduhan. Rakyat
Indonesia yang mencurigai adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu
dengan menyelundupkan tentara Belanda menjadi marah. Akibatnya kota
Jakarta menjadi tidak aman.
Pada bulan Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta.
Bersamaan dengan itu dipindahkan pula Perguruan Tinggi Kedokteran
Republik Indonesia ke beberapa kota yaitu ke Yogyakarta, Solo, dan
Klaten.
Di kota Surabaya keberadaan pasukan Sekutu (Inggris)
memancing perang besar dengan rakyat kota ini. Akibatnya kondisi kota
menjadi kacau balau yang menyebabkan situasi perkuliahan di Perguruan
Tinggi Kedokteran Gigi Surabaya menjadi terganggu.
Agar proses perkuliahan tetap berjalan maka seiring dengan pindahnya pemerintahan propinsi Jawa Timur ke kota Malang, Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi juga dipindahkan ke kota Malang dengan status sebagai perguruan tinggi di pengungsian.
Tahun 1947 terjadi Agresi Militer Pertama yang disusul dengan Agresi Militer Kedua pada tahun 1948.
Pada Agresi Militer yang kedua, kota Malang digempur habis oleh pasukan
tentara Belanda. Warga kota Malang terpaksa harus mengungsi keluar
kota. Sebelum kota Malang ditinggalkan, sebagian besar bangunan penting
di kota ini dibumihanguskan agar tidak digunakan oleh pasukan Belanda
yang baru datang di kota ini.
Bersamaan dengan didudukinya kota Malang oleh pasukan tentara Belanda maka Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi juga harus dipindah lagi ke kota Klaten dan Yogyakarta.
Pada tahun 1946 di Yogyakarta didirikan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1949 secara resmi Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada berubah menjadi Universitas Gadjah Mada
yang menghimpun fakultas-fakultas yang tersebar di berbagai kota
Republik, antara lain Yogyakarta, Solo, dan Klaten. Dengan demikian maka
sejak saat itu Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi berubah statusnya menjadi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
Sejak Agresi Militer Pertama pada tanggal 20 Juli 1947 kota Surabaya diduduki oleh Pasukan Tentara Belanda. Mereka kemudian mendirikan pemerintahan Jawa Timur yang disebut RECOMBA yang berkedudukan di Surabaya. Pada tanggal 27 Agustus 1947 Pemerintah Pendudukan Belanda di Jakarta mengumumkan kepada masyarakat bahwa mereka akan membuka kembali Institut Kedokteran Gigi di Surabaya yang bertempat di gedung NIAS.
Karena tempat yang terbatas sekolah ini belum akan menerima murid baru tetapi hanya akan menerima bekas siswa STOVIT terutama yang sebelum Jaman Jepang minimal sudah duduk di kelas dua. Sedangkan siswa STOVIT yang dulu baru kelas satu hanya diperkenankan masuk apabila memiliki ijazah HBS B atau AMS B.
Pada tanggal 15 Januari 1948 secara resmi dibuka kembali Institut Kedokteran Gigi atau Tandheelkundige-Instituut yang menempati bekas gedung NIAS di Karangmenjangan yang pada jaman kolonial bernama Viaduct Straat No. 47.
Peresmian
pembukaan sekolah tersebut mendapat perhatian yang cukup dari
pemerintah pendudukan Belanda. Hadir dalam kesempatan itu diantaranya
dari RECOMBA Jawa Timur. Sebagai direktur dari sekolah ini adalah Dr. J.M. Klinkhamer Sr.
Pada
saat sekolah ini dibuka tidak ada satupun masyarakat pribumi yang mau
menjadi siswa. Rasa nasionalisme yang amat tinggi dari masyarakat kota
Surabaya menyebabkan mereka lebih baik menyingkir keluar kota atau
menjadi pejuang dari pada menjadi siswa sekolah yang dikelola oleh
pemerintah pendudukan Belanda. Maka pada periode ini Tandheelkundige-Instituut lebih pantas disebut sebagai lembaga pendidikan milik Belanda yang akan menjajah
kembali Indonesia.
Pada tanggal 1 Agustus 1948 Pemerintah Pendudukan Belanda membuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) di Surabaya yang merupakan cabang dari Faculteit der Geneeskunde,
Universiteit van Indonesia telah berdiri secara utuh sejak Maret 1947 di Jakarta. Sejak saat itu di kota Surabaya terdapat dua lembaga pendidikan kedokteran yaitu Faculteit der Geneeskunde dan Tandheelkundige-Instituut yang merupakan cabang fakultas yang sama dari Universiteit van Indonesia Jakarta.
Sejarah
perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang
signifikan dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan
disepakatinya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Nopember 1949.
Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada lahir. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan Belanda kemudian menjadi universitas milik Pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-fakultasnya yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara Indonesia Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi).
Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia. Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas pertama milik Pemerintah Republik Indonesia semakin memantapkan posisinya menjadi universitas nasional.
Sementara itu Universiteit van Indonesia yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia. Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Periode
awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang
sangat tinggi yang diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat.
Timbulnya perasaan semacam itu diikuti dengan penjungkirbalikan
simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan romantisme masa
kolonial yang menyengsarakan.
Akibatnya
simbol-simbol yang berbau kolonial dihancurkan dan diganti dengan
simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda diganti dengan
istilah-istilah Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia. Pengelolaan universitas tersebut juga berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan perubahan nama tersebut Faculteit der Geneeskunde dan Tandheelkundige-Instituut juga berubah menjadi Fakultas Kedokteran dan Institut Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia Cabang Surabaya. Pimpinan Institut Kedokteran Gigi masih dipegang orang Belanda yaitu Prof. M. Knaap. Ia menjabat sampai tahun 1953 dan digantikan oleh Prof. M. Soetojo. Istilah Institut Kedokteran Gigi sering disebut juga dengan istilah Lembaga Kedokteran Gigi.
Karena terbatasnya sarana dan prasarana maka sampai tahun 1951 jumlah mahasiswa yang diterima di Institut Kedokteran Gigi
Surabaya masih sangat terbatas, yaitu berkisar 20 orang. Seiring dengan
berbagai pembenahan dan penambahan alat maka sejak tahun 1952 jumlah
mahasiswa yang diterima berkisar antara tujuh puluh sampai seratus
orang.
Sampai tahun 1950 Indonesia baru memiliki dua universitas negeri, yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan Universitas Indonesia di Jakarta.
Jumlah itu tentunya tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia
yang sudah amat banyak. Oleh karena itu pemerintah berinisiatif untuk
mendirikan perguruan tinggi lagi terutama di Indonesia bagian timur.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mendirikan sebuah universitas baru yang diberi nama Universitas Airlangga yang berkedudukan di kota Surabaya. Pada tanggal 10 Nopember 1954 secara resmi Universitas Airlangga berdiri.
Dengan berdirinya Universitas Airlangga maka Fakultas Kedokteran dan Institut atau Lembaga Kedokteran Gigi yang
semula merupakan cabang dari Universitas Indonesia kemudian dipisahkan
dari induknya dan digabung ke Universitas Airlangga.
Sejak
digabung dengan Universitas Airlangga nama Lembaga Kedokteran Gigi
berubah status menjadi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga
dengan lama belajar lima tahun.
Namun
bagi mahasiswa lama yang masuk sebelum tahun 1954 (sebelum bergabung
dengan Universitas Airlangga) statusnya masih sebagai mahasiswa Lembaga
Kedokteran Gigi dengan lama belajar empat tahun.
Pada
tahun Pelajaran 1956/1957 masih terdapat tiga tingkat mahasiswa yang
belajar di Lembaga Kedokteran Gigi, yaitu tingkat II, III, dan IV.
Mereka adalah para mahasiswa lama yang tidak lulus-lulus, atau istilah
pada saat itu adalah recidivist, dikarenakan berbagai hal. Tetapi
pada saat yang bersamaan pada tahun pelajaran itu juga sudah terdapat
mahasiswa tingkat I, II, dan III dengan status sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga.
Syarat-syarat
untuk dapat diterima menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi adalah
Berijazah SMA bagian B (Pasti-Alam). Baru pada tahun 1963 status Lembaga
Kedokteran Gigi menghabiskan mahasiswanya, dan dengan demikian maka
secara resmi sejak tanggal 5 Desember 1963 lembaga tersebut ditutup.
Dengan ditutupnya Lembaga Kedokteran Gigi maka berdiri secara penuh Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga sejak tanggal 5 Desember 1963 dengan lama pendidikan lima tahun. Lulusan
terakhir dari Lembaga Kedokteran Gigi adalah Rifat Simatupang, The
Siong Hoon, Djoko Soedibyo, Tan Khe Hoen, dan Lee Fong Lien. Adapun Dekan Fakultas Kedokteran Gigi pada periode ini adalah Letkol. Soenario.
Sejak
berstatus menjadi fakultas upaya untuk memajukan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Airlangga terus dilakukan. Upaya tersebut antara lain
menjalin kerjasama dengan berbagai universitas di luar negeri,
pembenahan kurikulum, serta penambahan sarana dan prasarana.
Pada
tahun 1957 salah seorang staf pengajar yaitu Ratiza Zainal dikirim ke
Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuan tentang teknik pengobatan
dan perawatan gigi. Ia dikirim bersama dengan empat dokter gigi lain
dari berbagai kota di Indonesia untuk belajar di berbagai sekolah
kedokteran gigi di Amerika serikat atas kerjasama antara kementrian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dengan Administrasi
Kerjasama Internasional Amerika Serikat di Indonesia (ICA).
Pada
tahun 1959 ketika Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga bekerjasama
dengan University of California, Fakultas Kedokteran Gigi juga diberi
kesempatan untuk ikut memanfaatkan kerjasama tersebut dengan mengirim
duabelas staf pengajarnya untuk memperoleh pendidikan tambahan dan
pendidikan bergelar dengan beasiswa dari USAID.
Langganan:
Postingan (Atom)